Senin, 30 November 2009

Krisis keuangan Amerika, Dubai dan Bank Duta


Ketiga permasalahan keuangan di tiga Negara yang berbeda tingkat kemakmuran tetapi punya masalah yang sama yaitu masalah keuangan yang terkait dengan property.

Kalau Amerika krisis subprime mortgagenya menyeret hampir seluruh Negara didunia yang akhirnya mengakibatkan krisis global, maka krisis Dubai yang dipicu tak mampunya Dubai

World melunasi utang pokoknya tepat waktu, belum bisa diprediksi apakan akan menyeret perekonomian Negara lain atau hanya Negara-negara Eropa yang member pinjaman. Sedangkan krisis keuangan Bank Duta yang pemiliknya gencar berinvestasi di property menyeret orang tuanya melepas saham kepemilikan diperusahaan yang sangat terpandang di Indonesia namun tak cukup untuk mempertahankan eksistensi Bank Duta.

Kalau krisis di negeri paman Sam disebabkan kredit macerdi sector property dijaminkan secara bertingkat-tingkat, sehingga penyelesaiannyapun seperti mengurai benang bundet, maka krisisnya Bank Duta menjadi lebih sederhana, yaitu dana likuid digunakan untuk pembiayaan investasi. Sedangkan krisisnya Dubai bisa dikatakan sebagai krisis yang disebabkan gaya hidup yang besar pasak daripada tiang, alias secara ekonomi belum mampu tapi ingin segera maju, maka utanglah yang menjadi solusi.

Sebuah pelajaran berharga dari permasalahan keuangan Negara yang bisa kita ambil untuk diterapkan dalam perilaku kita mengelola keuangan perusahaan yaitu jangan biayai investasi dengan hutang jangka pendek dan berinvestasilah sesuai dengan kemampuan keuangan perusahaan.

Kedua prinsip itu juga sangat tepat diimplementasikan pada pengelolaan keuangan personal. Semoga kita terhindar dari belitan masalah keuangan.

Saat kinerja diukur dengan materi


Uang yang bisa muncul dengan nama laba alias profit, pendapatan, kas, margin adalah tolok ukur keberhasilan bisnis. Ya, seberapapun baiknya system atau tata cara pengelolaan operasional perusahaan, kalau diujungnya perusahaan selalu rugi, maka system yang bagus itu seolah tiada arti.

Perusahaan yang untungpun kalau kemudian diukur bahwa keuntungannya didapat dengan menggunakan modal yang sangat besar juga belum bisa dikatakan kinerjanya baik. Itulah sebabnya kemudian itung-itungan dengan ratio keuangan menjadi penting, tidak sekedar melihat nominal atau jumlah keuntungan perusahaan.

Beda kasus, kalau perusahaan memang didirikan dengan tujuan non profit atau nirlaba, maka uang, laba, pendapatan bukanlah tolok ukur keberhasilan perusahaan. Keberhasilan perusahaan non profit ditentukan oleh bidang usaha perusahaan itu sendiri, misalnya keberhasilan bisnis pendidikan akan berbeda dengan rumah sakit dan beda pula dengan panti jompo.

Perubahan mendasar perlu dilakukan apabila perusahaan yang semula didirikan sebagai bisnis non profit menjadi perusahaan profit. Lihat contoh dunia pendidikan, dulu universitas negeri tidak pernah ditarget untuk memperoleh keuntungan, maka semua upaya ditujukan untuk meningkatkan kualitas riset dan pendidikan.

Kini setelah PTN dirumah menjadi BHMN maka universitas tidak cukup hanya memikirkan peningkatan kualitas, tapi juga direcoki dengan kegiatan harus mencari dari mana uang bisa diperoleh untuk meningkatkan kualitas.

Maka jangan heran kalau kemudian laju peningkatan kualitas menjadi mengendor karena mereka juga disibukkan untuk mencari duit. Jangan juga heran, kalau para pendidik itu kemudian berlomba mengelola proyek. Kalau kualitas pendidikan bangsa menjadi turun, jangan salahkan mereka. Bukan sebuah pemakluman atas penurunan kualitas pendidikan kita, tetapi sebagai bahan perenungan untuk meningkatkan diri.

Bisnis pendidikan yang semula berorientasi pelayanan pendidikan berubah arah menjadi bisnis konsultansipun perlu pembenahan mendasar, jangan sampai yang didalam masih belum tertata tapi sudah dikejar target keuntungan, bahkan repotnya lagi kalau target selalu dinaikkan setiap tahun dengan dalih kebutuhan/pengeluaran selalu meningkat setiap tahun menyesuaikan laju inflasi, tetapi senjata untuk meningkatkan kualitas lupa tidak diasah atau dinomor sekiankan.

Kita semua harus berpikir dan berusaha bersama untuk bisa meningkatkan kualitas pendidikan dengan dana yang seadanya. Jangan pula masalah UAN menjadikan kita berhenti mengejar laju kualitas pendidikan. Ini PR bangsa yang perlu segera diselesaikan, mari kita berdo’a semoga menteri pendidikan M. Nuh, punya strategi jitu untuk mengatasi permasalah pendidikan ini, bukan sekedar ganti menteri ganti kebijakan tetapi kualitas jalan ditempat.

Dubai oh Dubai


Rasanya baru kemarin sore saat kita dibuat terbengong-bengong dengan kecanggihan bangunan-bangunan nan megah di Dubai, sebut saja seperti menara tertinggi di dunia Al-Buruj, area ski indoor, reklamasi pantai membentuk pohon kurma, Palms Islands yang konon cerita dibangun oleh Nakheel, anak perusahaan Dubai World, sebuah perusahaan investasi global pemerintah Uni Emirat Arab.

Minggu ini kita dibuat tercengang, saat konsorsium Dubai World mengajukan penangguhan utang pokok (standstill) sampai Mei 2010 kepada kreditur dari berbagai Negara Eropa.

Penangguhan pembayaran pokok, ataupun rescheduling utang bukanlah suatu hal yang aneh, karena itu memang salah satu fasilitas yang diberikan bank pada para pemakai kredit. Masalahnya jumlah utang pokok yang ditanggung konsorsium Dubai World tidak sedikit yaitu sebesar US $ 60 milyar, kalau diperhitungkan bersama dengan bunganya sekitar US $ 80 milyar. Wooouw…..besar juga ya.

Ya, memang bukan jumlah yang kecil, kita bisa ngerti bahwa kemajuan dan kecanggihan Dubai dibiayai tidak sedikit. Geliat pembangunan Dubai dimulai tahun 2000 jauh sebelum krisis ekonomi global yang dipicu krisis ekonomi Amerika.

sembilan tahun lalu, pada tahun 2000 Dubai seolah berlomba membangun berbagai proyek mercusuar, bahkan yang spektakuler tahun 2002 Nakheel berhasil menjual 2.000 unit vila mewah hanya dalam waktu 1 bulan, ya satu bulan, mungkin raja property Indonesia Ciputra belum pernah mengalaminya.

Pembeli vila mewah itu bahkan para selebriti dunia seperti Brad Pitt, David Beckham, Michael Owen. Bisa dibayangkan bagaimana promosi yang mereka tempuh sehingga selebriti dunia kepencut, kapan Indonesia bisa melakukannya ya. Sehingga tidak perlu pada kaum “wealthy” Indonesia berburu property di Australia, Singapura ataupun Amerika. Achh…alangkah indahnya kalau itu bisa terjadi.

Berbagai pihak saling berlomba meyakinkan dengan analisisnya bahwa krisis Dubai ini tidak akan sampai berimbas ke Asia begitu juga Indonesia, bahkan Dirjen Pengelolaan Utang Rahmat Waluyanto mengatakan bahwa krisi Dubai belum Nampak. Dan semoga memang tidak perlu Nampak, karena imbas krisis paman Sam saja sampai sekarang belum pulih benar, kalau harus ditambah dengan krisis Dubai, seperti apa nantinya perekonomian kita ini.

Semoga sistem keuangan kita cukup kuat menahan hembusan angin krisis Dubai, dan semoga para pemegang otorita keuangan tidak terlena, meski semua mata sedang terpana melihat aksi panggung markus Anggodo adik Anggoro.

Semoga krisis property tidak perlu terjadi karena kita punya menteri perindustrian Muhammad Sulaiman Hidayat yang punya latar belakang sebagai pengusaha property.

Meniti jembatan merdeka financial

Kaya bukan hal yang haram. Begitu kalimat yang sering dilontarkan oleh kolegaku, saat kami harus bekerja untuk mencari proyek.

Ya bisa dipahami, memang kaya bukanlah hal yang haram, sejauh cara untuk mencapai kekayaan itu ditempuh dengan cara-cara yang benar, baik secara hukum, etika, norma atau prinsip-prinsip kehidupan yang berlaku.
Uang adalah alat tukar untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia. Uang bukan segalanya, tetapi tanpa uang, banyak materi yang tak mampu dimiliki.

Dan perlu diingat, jangan sampai saat muda kita bekerja keras untuk mengumpulkan uang, tetap saat muda kita harus mengeluarkan untuk mengatasi segala problem yang timbul/efek kegiatan saat mencari uang diusia muda. Karena kalau begini, namanya ya bak buk, alias impas atau ada yang mengatakan “dari zero kembali ke zero”.

Kalau begini, apa artinya uang yang kita miliki, kalau pada akhirnya juga cuma habis tak berbekas…ini namanya kemerdekaan semu alias artificial karena uang yang kita miliki tidak memberikan rasa aman, sebagaimana kunci utama dalam kemerdekaan financial. Kemerdekaan financial harus memberikan kondisi aman pada pribadi dari persoalan keuangan. Rasa aman merupakan syarat penting dalam menuju tahap kemerdekaan financial.

Kalau rasa aman tidak ada meski memiliki harta, berarti kita masih belum merdeka financial, atau dengan kata lain uang tersebut akan menyusut seiring bertambahnya biaya hidup. Bila hal ini terjadi maka sebenarnya kemerdekaan financial yang selama ini dijalani adalah kemerdekaan financial semu.

Menurut Elvyn, agar terhindar dari hal tersebut dan berhasil mencapai kemerdekaan financial yang riel ada 4 tahap yang harus diikuti:
1. Membebaskan logika dari pengaruh perasaan ketika mengambil keputusan di bidang keuangan
2. Memiliki penghasilan yag lebih besar dari pada pengeluaran yang mendasar
3. Kemampuan merencanakan keuangan dan mengimplementasikannya
4. Terbebas dari kebutuhan keuangan untuk membiayai hidup disaat tidak produktif lagi.

Semoga kita bisa meniti jalan menuju merdeka financial. Tidak harus kaya lho, tetapi kalau kaya tidak haram koq.


Kamis, 26 November 2009

Menapaki kesempurnaan financial

Minggu lalu kuterhenyak membaca tulisan praktisi keuangan Elvyn G Masassya di harian kompas mengenai kesempurnaan financial.

Sungguh membuka mataku yang selama ini sebatas berpikir dan betindak untuk kemerdekaan atau kemandirian financial. Ternyata Elvyn mengatakan bahwa ada tahapan berikutnya yang lebih bermakna yaitu kesempurnaan financial.

Kalau dalam kemandirian financial yang kita fokuskan adalah pemenuhan kebutuhan financial kita pribadi, maka dalam kesempurnaan financial, uang yang kita miliki memberi manfaat pada kita dan pada orang lain. Sungguh indah ya.

Andai semua orang berpikir untuk mengejar kesempurnaan financial maka angka kemiskinan Negara ini pasti akan menurun secara signifikan. Orang tidak hanya befikir hanya membayar zakat harta 2,5% tetapi mungkin akan berubah menjadi separo kekayaannya digunakan untuk membahagiakan orang lain.

Ya, kalau terlalu berat 50%, kita bisa bertahap untuk meningkatkan kemanfaatan harta kita untuk kebahagiaan orang lain. Mungkin menjadi 3%, kemudian 5% dan terus meningkat sesuai dengan tujuan kesempurnaan financial yang ingin dicapai.

Bagaimana bisa menapakinya? Elvyn mengatakan hanya perlu dua prinsip, yaitu:
Proses menuju kemandirian financial mesti dilakukan dengan cara dan kaidah yang layak dan Memaknai uang itu sendiri.

Jangan pernah berpikir atau merasa tidak cukup sehingga pengeluaran menjadi lebih besar dibandingkan dengan penerimaan.
Bila ingin meningkatkan penerimaan maka lakukan dengan perencanaan keuangan yang memiliki norma.

Kita tahu bahwa dengan membahagiakan orang lain, kita sendiripulalah yang dibuatnya bahagia. Percaya gak? Coba bayangakan, pada saat anda berniat untuk member seseorang yang anda rasa dia berada dibawah kita. Alih-alih dia menerima dan berterima kasih atas pemberian tetapi menolak tanpa permintaan ma’af ataupun menjelaskan alasan menolak. Bagaimana perasaan kita? Coba bayangkan kalau yang anda beri itu menerima dengan pancaran bahagia dan mengucapkan terima kasih dengan tulus.

Nach, indah khan kalau semua orang berlomba-lomba untuk mengejar kesempurnaan financial. Kita bahagia dan Negara ini akan kaya. Percayakah? Ayo, kita buktikan.


Belajar merdeka financial


Keadaan yang sudah umum kita jumpai di masyarakat, orang-orang yang sudah memasuki masa pension hidupnya susah secara financial maupun kesehatan.

Ketika masa muda tak mampu membeli barang yang diinginkan karena tidak punya uang. Saat produktif banyak barang dibeli bukan karena kebutuhan tetapi karena keinginan bahkan tuntutan gengsi jabatan. Saat pension kembali ke tahap tak mampu membeli barang yang diinginkan karena tidak punya cukup uang pensiun untuk membeli.

Sungguh ironis kehidupan di masa lansia. Agar tidak mengalami hal tersebut maka sebaiknya sejak masih masa produktif, kehidupan financial dimasa lansia sudah disiapkan. Bagaimana mungkin…lha wong gajinya saja pas-pasan…pas mau beli, pas tidak punya uang, sahut suara dari dalam diriku.

Ya, paradigma gaya belanja dan gaya konsumsi mesti dirubah ke asal. Kebanyakan dari kita belanja atau konsumsi itu mengikuti penerimaan, dalam arti begitu gaji meningkat, maka gaya belanja mulai juga meningkat, tidak hanya masalah mutu tetapi meungkin lebih kepada pertimbangan harga atau gengsi.

Gaya belanja orang Indonesia inilah yang dimanfaatkan para produsen barang konsumsi.
Lihat saja, apa jenis handphone yang di miliki seseorang di sekeliling anda, lalu perhatikan, fasilitas apa saja yang dimanfaatkan/digunakan. Mayoritas kita hanya menggunakan handphone untuk telpon menelpon dan sms, tetapi selalu berusaha untuk membeli handphone paling canggih dengan harga mahal karena gengsi atau para pengamat gaya hidup menyebutkan sebagai trend.

Gaya mengikuti trend atau keinginan seperti inilah yang menyebabkan pengeluara selalu meningkat, yang tidak jarang kenaikan pengeluaran melebihi peningkatan penerimaan atau gaji dan bonus.

Mari kita kembali keasal. Belanja atau konsumsi berdasarkan kebutuhan (need) bukan keinginan (want). Kita sadar bahwa kebutuhan itu sangat sederhana seperti kenyang, sehat, berpendidikan tetapi keinginan begitu menggoda seperti gaya, trend, gengsi, jabatan dan mendapat sanjungan.

Kebutuhan makan mendasar adalah pemenuhan karbohidrat, lemak, vitamin dan mineral. Nach sejak kecil kita sudah belajar makanan 4 sehat 5 sempurna. Ambil contoh kita makan sepiring nasi pecel dengan lauk telur mata sapid an didampingi segelas susu kedelai.

Kebutuhan makan sehat terpenuhi. Tetapi seiring dengan pendapatan/gaji yang diterima maka makan kemudian berubah. Tidak mau lagi selalu dijejali oleh nasi pecel, lebih gengsi makan junk food di pojok mall yang sangat ramai. Alih-alih kesehatan yang diperoleh malah secara financial menjadi boros dan kesehatan tubuhpun terusik.

Nach, saat kita mengubah paradigm menjadi menjalani hidup ini berdasar kebutuhan bukan keinginan, maka berapapun besar gaji kita, kita akan mampu untuk melakukan investasi dengan besaran tergantung pada besaran penerimaan semasa produktif. Ambil contoh misalnya menginvestasikan kelebihan uang dalam bentuk deposito, obligasi, reksadana, property, bisnis/usaha.

Bila hal ini dilakukan sejak jauh hari saat masih produktif maka hasil yang didapat pada masa pension akan semakin besar. Maka pada saat lansia, kita bisa menjalani hidup dengan sehat karena sejak produktif mengelola makan dengan pola makan sehat, sedangkan secara financial kita bisa merdeka karena uang yang kita investasikan dimasa muda sudah bisa memberi hasil yang lebih besar dari uang pension kita tanpa harus kita bekerja, atau ahli keuangan Robert kiyosaki mengatakan sebagai merdeka financial.

Mari kita siapkan kemerdekaan financial sejak sekarang, agar tidak terhindar dari terbelenggu masalah keuangan dimasa lansia.

Angka kemiskinan turun


Menjelang akhir 2007, perekonomian USA digoncang oleh permasalahan “skandal” subprime mortgage, perekonomian dunia ikut goncang karenanya.
Bahkan sampai dengan saat ini, menjelang akhir tahun 2009, perekonomian dunia belum bisa pulih benar. Malah, ada pengamat perekonomian dunia meramalkan puncak resesi ekonomi akan terjadi di tahun 2010.

Di belahan bumi Indonesia, presiden SBY, menyatakan bahwa dalam 2 tahun terakhir seluruh provinsi di Indonesia mampu menurunkan angka kemiskinan, dengan prosentasi berbeda. Prosentase tertinggi terjadi di Papua Barat dan Papua yang turun mencapai 4%. Angka pengangguran menurun di 31 propinsi, dengan tingkat penurunan pengangguran tertinggi terjadi di Sulawesi Tengah.

Di sisi lain, menkeu sekaligus pelaksana menko perekonomian Sri Mulyani menyatakan bahwa pada 2010 tidak ada lagi BLT (bantuan langsung tunai) diganti dengan program keluarga harapan dengan budjet Rp. 1,1 triliun, dalam konperensi pers nota keuangan dan RAPBN 2010 sebagaimana diangkat dalam tulisan beberapa media cetak dan elektronik, termasuk media Indonesia pada tanggal 4 Agustus 2009 lalu

Di belahan bumi Amerika, beberapa perusahaan tutup dan terjadi peningkatan pengangguran dimana-mana, bahkan beberapa perusahaan besar terpaksa memPHK (putus hubungan kerja) karena tidak adanya produksi sebagai akibat penurunan daya beli masyarakat. Pabrik mobil Chrysler yang begitu perkasapun terpaksa memPHK beberapa ribu karyawannya, meski petinggi perusahaan mengatakan bahwa ada kemungkinan mereka bisa bekerja kembali apabila ada peningkatan produksi.

Bagaimana ini bisa terjadi, aku tidak bisa menjelaskan secara hukum ekonomi atas paradox yang terjadi di negeri tercinta ini. Aku hanya bisa berharap, semoga angka-angka yang disajikan dan dipublikasikan adalah angka-angka yang benar-benar mencerminkan keadaan sebenarnya dilapangan, bukan sekedar angka statistik yang diolah dari pengumpulan data dari seluruh instansi terkait.

Semoga kesalahan penyajian data pada pidato pertanggungjawaban presiden beberapa tahun lalu tidak terulang dalam hal penyajian angka kemiskinan dan pengangguran.


Semakin sejahterakah aku?


Saat aku pertama kali memulai saat mencari pekerjaan setelah lulus kuliah. Waktu itu aku mendapat tawaran dari dosen pembimbingku untuk menjadi dosen ditempatku kuliah.

Pikiranku galau, antara pingin memenuhi permintaan dosen pembimbingku yang sangat baik dengan bagaimana aku bisa membantu orang tuaku menuntaskan kuliah adikku. Lama bergumul dengan pikiran ini, sampai aku dicari dosen pembimbingku itu karena lama tidak konsultasi skripsiku, dengan menanyakan keberadaanku pada teman sesama bimbingan skripsi pada beliau.

Aku galau, karena waktu itu terbayang, besarnya gaji yang kuterima sebagai dosen negeri dengan besarnya biaya kuliah adikku di perguruan tinggi swasta. Aku sempat bertanya pada kakak kelasku yang sudah menjadi dosen dengan melepaskan pekerjaan yang sudah dia dapat di perusahaan multi nasional cukup ternama di Jakarta.

Akhirnya dengan pertimbangan, kebutuhan akan keuangan pada saat itu, kuberanikan diri menghadap dosen pembimbingku. Beliau bilang tidak apa-apa, tapi aku bisa melihat sinar mata kecewa berkilat di mata beliau. Beliau kemudian berpesan untuk, mencari pekerjaan yang tidak memforsir waktu, seperti berangkat sebelum marahari terbit, dan pulang kerumah saat matahari terbenam, bahkan ketika anggota keluarga sudah ada yang masuk diperaduan. Ya, pesan ini yang sebisa mungkin tetap aku pegang sampai saat ini aku bekerja.

Tapi kalau dilihat dari sisi keuangan yang menjadi dasar pertimbangnku saat itu. Aku hanya bisa membuat perbandingan sederhana seperti ini. Saat awal aku bekerja, gajiku dua kali lipat gaji kakak kelasku sebagai dosen di tempat dulu aku kuliah. Kini saat waktu telah berlalu lebih dari 15 tahun, kakak kelasku sudah jadi doctor dengan take home pay 5-10 kali gajiku. Tingkat kesejahteraan hidup yang bisa kunikmati berada jauh dibawah tingkat kesejahteraannya.

Bukannya aku tidak punya kesempatan untuk meningkatkan kesejahteraan, karena aku sempat kerja di perusahaan asing dan bahkan mendapat tawaran untuk menjadi karyawan tetapnya dengan gaji dolar dan berkantor di Bangkok, tetapi rasa cinta Yogya menjadi dasar keputusan untuk tetap bekerja di kantorku sekarang ini.

Aku hanya bisa mengatakan, dari sisi kesejahteraan, memang aku berada dibawah orang yang 15 tahun lalu gajinya separoku, tetapi aku bisa mengatakan bahwa kebahagiaanku belum tentu berada dibawah kebahagiaannya, karena kebahagiaan tidak semata ditentukan oleh besarnya gaji ataupun kemampuan daya beli terhadap barang-barang ekonomi.

Kalau dibandingkan dengan kemampuan ekonomiku sendiri, aku hanya bisa mengatakan waktu aku kerja pertama kali, kemampuan transportasiku dengan sepeda motor yang bisa kubeli baru dengan bahan bakar premik (sekarang pertamaks). Kini 15 tahun berlalu kemampuan ekonomiku masih setara sepeda motor baru dengan bahan bakar pertamaks. Bukannya aku tidak bisa membeli mobil baru dengan kualitas terendah, tetapi pasti kebutuhan akan biaya bahan bakar dan pemeliharaan akan memberatkan perekonomianku. Sehingga bisa kukatakan bahwa kesejahteraanku masih tidak bergerak dari saat awal aku bekerja, meski gajiku sudah lebih dari 10 kali lipat gaji awal bekerja.

Kenapa bisa begitu? Ya, kenaikan gaji yang kuterima tidak pernah mencapai 10% per tahun, sementara angka inflasi di masyarakat berkisar didekat angka 10%. Angka inflasi menunjukkan kenaikan harga barang-barang dipasar. Sehingga meskipun nominal gaji semakin besar tetapi kemampuan ekonomi tidak meningkat sebesar peningkatan gaji. Meski pemerintah mencanangkan laju inflasi sebesar 5 % ditahun 2010, sebuah angka yang sangat optimis, tetapi tetap belum akan mampu mengimbangi peningkatan gaji.

Kalau dilihat dari UMP Yogyakarta yang di ketok dikisaran Rp 745.000,00 yang masih menimbulkan rasa kecewa di beberapa pengusaha, karena memberatkan kemampuan perusahaan, tetapi kalau dilihat dari tingkat biaya hidup di yogya, upah sebesar itu hanya akan cukup kalau tinggal di pelosok tanpa beban biaya sekolah yang setinggi langit alias mahal. Kalau seseorang tinggal di kota, maka UMP sebesar itu berada di batas bawah kemampuan ekonomi. Ya, selalu saja UMP menjadi topic yang hangat untuk dipertentangkan karena perbedaan sudut pandang.

Aku hanya bisa bilang, kalau UMP Yogyakarta ini dijadikan tolok ukur kesejahteraan, maka gaji yang kuterima bisa dikatakan aku menjadi anggota masyarakat sejahtera atau bahkan sangat sejahtera.

Nach, mau darimana kita memandang kesejahteraan hidup kita. Angka yang sama bisa diartikan dengan beragam cara, dan kesemuanya benar adanya. Tinggal, bagaimana kita akan mensikapi angka-angka yang ada dihadapan kita, agar hidup kita tidak terbelenggu oleh angka, baik itu angka tentang kesejahteraan ataupun tentang kemiskinan.