Jumat, 23 Desember 2011

Kecelakaan Finansial....jangan sampai terjadi


"Jangan besar pasak daripada tiang" itu pesan ayahku, awal-awal aku mulai dapat gaji dari pekerjaanku.
Pesan singkat ayahku itu selalu kujadikan acuan dalam menjalani kehidupan sehari-hari, dan aku menikmatinya, bahkan kadang jadi canggung ketika harus menikmati kehidupan yang menurutku melebihi standar yang kupakai.

Canggung, menikmati ataupun kecanduan gaya hidup yang "besar oasak daripada tiang" adalah sebuah pilihan. Yang paling penting, apapun yang dipilih hindarilah "KECELAKAAN FINANSIAL".
Ya, aku senang menggunakan istilah kecelakaan finansial untuk mengganti istilah "bangkrut finansial" kalau berbicara topik keuangan. Cari punya cari, ketemu artikel tentang kecelakaan finansial di kompas.com yang ditulis Elvyn G Masassya beberapa saat lalu.

Cukupkah aset aktifku


"Tidak usah beli mobil dulu" kata ayahku
"Kenapa" aku balik bertanya
"Nilai mobil itu turun, kalau mau membeli sesuatu, belikan saja tanah" jawab ayahku
Itu penggalan percakapanku dengan ayahku waktu aku mempunyai sedikit uang untuk diinvestaskan. Meski ayahku bukan berbasis ekonomi, beliau teknik sipil, tetapi pemahaman tentang keuangan jago juga.
Dan aku keterusan menjalanan saran ayahku, sehingga sampai sekarang, setelah bekerja lebih dari 20 tahun, aku belum juga membeli mobil.
Kalau teman-teman sekantor membujukku untuk membeli mobil, aku bilang khan bisa menyewa, bahkan bisa berganti-ganti mobil sesuai keinginan.

Karena terlalu banyak dan sering orang yang membujukku untuk memiliki sebuah mobil, aku menjadi berpikir "Apa yang salah sich dengan tidak memiliki mobil"
Bahkan sekarang aku berpikir, sebenarnya cukupkah porsi aset aktif yang kumiliki dibandingkan dengan aset pasifnya.
Asetku memang tidak banyak, tetapi aku tidak terjebak pada kepemilikan aset pasif yang bahkan nilainya berkurang seiring waktu yang berlalu.

Rasanya kegalauan ini sedikit terobati dengan tulisan kmpas.com tentang perencanaan aset aktif yang kita miliki.


Kepemilikan aset aktif semestinya berkontribusi untuk mencapai tujuan finansial Anda. Anda dapat memeroleh pendapatan pasif dari aset aktif ini. Penghasilan pasif merupakan penghasilan yang Anda dapat tanpa perlu bekerja aktif. Karenanya, selain merencanakan keuangan, Anda juga perlu merencanakan aset aktif dengan tepat.

Perencana keuangan Ligwina Hananto, dalam bukunya Untuk Indonesia yang Kuat, 100 Langkah untuk Tidak Miskin, menjelaskan kebanyakan orang hanya memiliki salah satu dari dua hal ini: aset aktif atau rencana keuangan. "Padahal semestinya kita mesti memiliki kombinasi sehat dari kedua hal tersebut," lanjutnya.

Setelah Anda menetapkan tujuan finansial, langkah selanjutnya adalah menetapkan langkah untuk mencapainya. Nah, ada dua tahap perencanaan keuangan dalam rangka mencapai tujuan finansial. Pertama, rencana keuangan dasar dan kedua, rencana keuangan lanjut.

Ligwina memaparkan, dana untuk memenuhi berbagai tujuan finansial suatu hari akan dipakai sampai habis. Karenanya, sangat penting untuk menggunakan produk likuid dan terukur pertumbuhannya untuk mencapai tujuan finansial pada tahap dasar. Produk reksadana dapat menjadi pilihannya. Saat dana Anda sudah mencapai jumlah yang ditargetkan, Anda akan mencairkan reksadana ini dan menggunakannya seseuai
tujuan.

Namun, jika hanya mengandalkan rencana keuangan dasar ini, suatu saat aset Anda akan habis. Inilah pentingnya mengombinasikan rencana keuangan dan aset aktif.

Aset aktif
Aset aktif terbagi tiga; bisnis, properti, dan surat berharga. Tidak semua orang punya bakat membangun bisnis. Tidak semua orang punya properti yang menghasilkan uang. Tidak semua orang mengerti surat berharga seperti apa yang harus mereka miliki untuk memberikan hasil maksimal.

"Tapi, jika kita tidak pernah mencoba, kita takkan pernah tahu aset aktif mana yang bisa kita andalkan untuk mendukung tujuan finansial ini. Saya memilih mencoba semuanya," saran Ligwina.

Meski memiliki aset aktif berada dalam tahapan siklus kehidupan ketiga, yakni di usia 40-an. Namun, Anda perlu mencobanya lebih awal, untuk mengetahui aset aktif mana yang paling tepat untuk Anda dan memberikan hasil lebih maksimal untuk mendukung pencapaian tujuan finansial.

Dengan memahami aset aktif mana yang tepat untuk Anda, pada usia 40-an Anda sudah memiliki aset aktif yang menjadi penghasilan pasif untuk menambah pencapaian keuangan saat pensiun nanti.

Memang, saat Anda mencoba mengenali aset aktif mana yang paling tepat, Anda akan menghadapi risiko yang lebih liar dibandingkan risiko saat Anda melaksanakan investasi di tahap dasar tadi.

Meski begitu, pada tahap lanjut ini, Anda sedang melatih diri menjadi investor canggih. Anda dapat lebih memahami risiko, pengetahuan Anda pun terus bertambah. Dana yang Anda investasikan pada aset aktif ini pun seharusnya sudah "siap menabrak tembol", ungkap Ligwina.

Jadi, ayo mulai pikirkan. Bisnis seperti apa yang Anda inginkan? Properti seperti apa yang Anda ingin bangun? Surat berharga apa yang Anda ingin pelajari?

Sumber: Buku Untuk Indonesia yang Kuat 100 Langkah untuk Tidak Miskin, Ligwina Hananto, Penerbit Literati.

Kamis, 22 Desember 2011

Sehatkah keuanganku ini


Tak terasa akhir tahun 2011 sudah didepan mata....trus itung-itung kewajiban finansail yang masih belum terselesaikan...lha koq masih ada sisa kewajiban zakat mal yang belum terbayar...wach harus segera hubungi kawanku yang biasa nyalurkan nich....tapi aku jadi merenung, adakah keuanganku tahun 2011 ini dalam kondisi sehat....
Kebetulan koq baca kompas.com nemu artikel tentang ciri-ciri sehat keuangan yang bisa dibagi dalam tulisan ini.

Boleh dibilang bahwa aktivitas keuangan kita -entah itu utang kartu kredit, biaya bulanan, sewa rumah, atau tagihan pinjaman rumah- tak bisa dilepaskan dari hidup kita. Karena itu jangan heran jika utang dalam jumlah besar atau kondisi keuangan kita secara langsung akan mempengaruhi kehidupan emosional, fisik, dan spiritual kita.

Bayangkan ketika separuh penghasilan Anda harus Anda setor kembali ke bank untuk membayar utang kartu kredit setiap bulan. Hal ini menjadi tanda bahwa Anda dikendalikan oleh uang (atau utang). Penghasilan bukan lagi menjadi tanda bahwa Anda mandiri, melainkan menjadi sumber stres karena sebagian harus digunakan untuk melunasi hutang.

“Perempuan harus membangun hubungan yang sehat dan jujur dengan uang," ujar pakar finansial Suze Orman. “Kita juga perlu melihat hubungan ini sebagai suatu refleksi hubungan kita dengan diri kita sendiri."

Penting untuk menjaga bahwa kondisi keuangan kita tetap sehat. Suze Orman mengatakan, setidaknya ada lima hal yang menunjukkan bahwa keuangan Anda cukup sehat:
1. Anda sadar dengan “money personality” Anda. Hal ini bisa dilihat dari latar belakang keluarga Anda, apakah orangtua Anda berinvestasi di bidang properti, memiliki rekening di bank yang menetapkan bunga yang rendah, reksa dana, atau justru mereka terlibat utang? Kebiasaan Anda menabung dan menggunakan uang, cara Anda berinvestasi, berpandangan mengenai uang, dan bagaimana perspektif finansial, sebagian dibentuk oleh cara orangtua Anda memperlakukan uang saat Anda masih kecil. Kepribadian uang Anda langsung mempengaruhi hubungan Anda dengan uang, dan semakin Anda sadar mengenai hal ini, semakin Anda tidak tergantung pada uang.
2. Anda berani mengambil risiko finansial. Berani mengambil risiko secara finansial tidak selalu berarti Anda berani berinvestasi sebesar Rp 100 juta dalam bisnis baru seorang teman, atau Anda hobi berbelanja dengan kartu kredit hingga tagihan Anda mencapai ratusan juta rupiah. Risiko finansial bisa juga digolongkan sebagai langkah yang cerdas, misalnya jika Anda membeli rumah sebagai investasi, atau mencari cara-cara untuk memperoleh uang dari hobi Anda.

3. Anda memiliki tabungan, investasi, atau account kartu kredit sendiri. Banyak perempuan yang ingin meninggalkan suami mereka, namun tidak sanggup karena mereka tidak memiliki penghasilan sendiri untuk membiayai hidup mereka. Bila Anda memiliki rekening di bank sendiri, itu sudah menandakan bahwa Anda perempuan independen dalam hal keuangan.

4. Anda memiliki tujuan keuangan secara individu maupun berpasangan. Tujuan Anda sebagai pasangan menikah, biasanya adalah mampu membayar tagihan rumah dalam hitungan sekian tahun. Tujuan Anda sebagai perempuan bekerja adalah meningkatkan penghasilan menjadi sekian juta rupiah sebulan. Sedangkan suami mungkin juga memiliki tujuan sendiri, namun berkaitan dengan investasi. Sebagai perempuan yang memiliki kebebasan dalam mengelola penghasilan, sebaiknya Anda juga menetapkan tujuan yang terpisah dari pasangan Anda.
5. Anda memahami persoalan keuangan secara mendasar. Sebut saja mengenai asuransi kesehatan, dana pensiun, suku bunga, pajak penghasilan, dan lain sebagainya. Semakin Anda menguasai masalah keuangan, semakin Anda menjadi independen, karena Anda tahu apa yang harus Anda lakukan dengan uang Anda.