Kamis, 26 November 2009

Semakin sejahterakah aku?


Saat aku pertama kali memulai saat mencari pekerjaan setelah lulus kuliah. Waktu itu aku mendapat tawaran dari dosen pembimbingku untuk menjadi dosen ditempatku kuliah.

Pikiranku galau, antara pingin memenuhi permintaan dosen pembimbingku yang sangat baik dengan bagaimana aku bisa membantu orang tuaku menuntaskan kuliah adikku. Lama bergumul dengan pikiran ini, sampai aku dicari dosen pembimbingku itu karena lama tidak konsultasi skripsiku, dengan menanyakan keberadaanku pada teman sesama bimbingan skripsi pada beliau.

Aku galau, karena waktu itu terbayang, besarnya gaji yang kuterima sebagai dosen negeri dengan besarnya biaya kuliah adikku di perguruan tinggi swasta. Aku sempat bertanya pada kakak kelasku yang sudah menjadi dosen dengan melepaskan pekerjaan yang sudah dia dapat di perusahaan multi nasional cukup ternama di Jakarta.

Akhirnya dengan pertimbangan, kebutuhan akan keuangan pada saat itu, kuberanikan diri menghadap dosen pembimbingku. Beliau bilang tidak apa-apa, tapi aku bisa melihat sinar mata kecewa berkilat di mata beliau. Beliau kemudian berpesan untuk, mencari pekerjaan yang tidak memforsir waktu, seperti berangkat sebelum marahari terbit, dan pulang kerumah saat matahari terbenam, bahkan ketika anggota keluarga sudah ada yang masuk diperaduan. Ya, pesan ini yang sebisa mungkin tetap aku pegang sampai saat ini aku bekerja.

Tapi kalau dilihat dari sisi keuangan yang menjadi dasar pertimbangnku saat itu. Aku hanya bisa membuat perbandingan sederhana seperti ini. Saat awal aku bekerja, gajiku dua kali lipat gaji kakak kelasku sebagai dosen di tempat dulu aku kuliah. Kini saat waktu telah berlalu lebih dari 15 tahun, kakak kelasku sudah jadi doctor dengan take home pay 5-10 kali gajiku. Tingkat kesejahteraan hidup yang bisa kunikmati berada jauh dibawah tingkat kesejahteraannya.

Bukannya aku tidak punya kesempatan untuk meningkatkan kesejahteraan, karena aku sempat kerja di perusahaan asing dan bahkan mendapat tawaran untuk menjadi karyawan tetapnya dengan gaji dolar dan berkantor di Bangkok, tetapi rasa cinta Yogya menjadi dasar keputusan untuk tetap bekerja di kantorku sekarang ini.

Aku hanya bisa mengatakan, dari sisi kesejahteraan, memang aku berada dibawah orang yang 15 tahun lalu gajinya separoku, tetapi aku bisa mengatakan bahwa kebahagiaanku belum tentu berada dibawah kebahagiaannya, karena kebahagiaan tidak semata ditentukan oleh besarnya gaji ataupun kemampuan daya beli terhadap barang-barang ekonomi.

Kalau dibandingkan dengan kemampuan ekonomiku sendiri, aku hanya bisa mengatakan waktu aku kerja pertama kali, kemampuan transportasiku dengan sepeda motor yang bisa kubeli baru dengan bahan bakar premik (sekarang pertamaks). Kini 15 tahun berlalu kemampuan ekonomiku masih setara sepeda motor baru dengan bahan bakar pertamaks. Bukannya aku tidak bisa membeli mobil baru dengan kualitas terendah, tetapi pasti kebutuhan akan biaya bahan bakar dan pemeliharaan akan memberatkan perekonomianku. Sehingga bisa kukatakan bahwa kesejahteraanku masih tidak bergerak dari saat awal aku bekerja, meski gajiku sudah lebih dari 10 kali lipat gaji awal bekerja.

Kenapa bisa begitu? Ya, kenaikan gaji yang kuterima tidak pernah mencapai 10% per tahun, sementara angka inflasi di masyarakat berkisar didekat angka 10%. Angka inflasi menunjukkan kenaikan harga barang-barang dipasar. Sehingga meskipun nominal gaji semakin besar tetapi kemampuan ekonomi tidak meningkat sebesar peningkatan gaji. Meski pemerintah mencanangkan laju inflasi sebesar 5 % ditahun 2010, sebuah angka yang sangat optimis, tetapi tetap belum akan mampu mengimbangi peningkatan gaji.

Kalau dilihat dari UMP Yogyakarta yang di ketok dikisaran Rp 745.000,00 yang masih menimbulkan rasa kecewa di beberapa pengusaha, karena memberatkan kemampuan perusahaan, tetapi kalau dilihat dari tingkat biaya hidup di yogya, upah sebesar itu hanya akan cukup kalau tinggal di pelosok tanpa beban biaya sekolah yang setinggi langit alias mahal. Kalau seseorang tinggal di kota, maka UMP sebesar itu berada di batas bawah kemampuan ekonomi. Ya, selalu saja UMP menjadi topic yang hangat untuk dipertentangkan karena perbedaan sudut pandang.

Aku hanya bisa bilang, kalau UMP Yogyakarta ini dijadikan tolok ukur kesejahteraan, maka gaji yang kuterima bisa dikatakan aku menjadi anggota masyarakat sejahtera atau bahkan sangat sejahtera.

Nach, mau darimana kita memandang kesejahteraan hidup kita. Angka yang sama bisa diartikan dengan beragam cara, dan kesemuanya benar adanya. Tinggal, bagaimana kita akan mensikapi angka-angka yang ada dihadapan kita, agar hidup kita tidak terbelenggu oleh angka, baik itu angka tentang kesejahteraan ataupun tentang kemiskinan.


Tidak ada komentar: