Senin, 07 Desember 2009

Cina marah…..lho kenapa

Pemerintah Cina marah dan menuding beberapa bank Amerika menipu. Kemarahan ini dipicu oleh sejumlah 60 BUMN Cina dari 130 BUMN yang ada merugi sebesar 11,4 milyar yuan atau setara 16 trilliun rupiah karena membeli produk derivative dari bank-bank negeri paman Sam.

Kata wakil ketua Pengawasan Aset dan Komisi Administrasi BUMN mister Li Wei, pada tingkat tertentu produk investasi yang ditawarkan bank-bank AS menyebabkan kehancuran perusahaan Negara. Produk derivative yang dibeli BUMN itu ditawarkan dengan janji untuk melindungi kemerosotan nilai asset perusahaan terhadap kenaikan harga komoditas dan fluktuasi kurs serta suku bunga. Produk ini adalah jenis investasi yang amat kompleks ditawarkan dengan penjelasan sangat minim. Seperti yang diturunkan dalam berita internasional harian kompas sabtu lalu.

Aku jadi ingat cerita salah satu profesor keuangan di kelas ketika besannya terpesona produk valas yang ditawarkan sangat memikat oleh penjualnya. Semua penjelasan mengenai keuntungan dibeberkan dengan antusias namun kemungkinan rugi tak disinggung-singgung.

Singkat cerita, valas gonjang-ganjing, karena dia harus menjaga nilai kecukupan investasi “US $” yang dia beli maka dia selalu harus menambah uang agar US $ nya tidak turun. Makin lama dia mengisi lebih besar dari nilai pembelian diawal dengan return yang jelas-jelas minus.

Setali tiga uang dengan kasus BUMN Cina ini, dia tergiur oleh tawaran bank-bank papan atas USA, sebut saja Goldman, Merrill Lynch, Morgan dan City Corp dengan anggapan bahwa produk mereka pasti selalu akan memberi hasil positif.

Sayang mereka lupa atau mungkin juga belum paham permainan produk derivative, produk keuangan yang memang agar kompleks dibandingkan invetasi properti atau reksadana. Lebih disayangkan lagi, nilai kontrak derivative sekitar 125 milyar yuan dibeli akhir oktober 2008, sebulan setelah Lehman Brothers bangkrut.

Entah apa yang dijadikan dasar pengambilan keputusan investasi yang sangat besar dilakukan pada Negara yang sedang dilanda krisis ekonomi akibat subprime mortgage setahun sebelumnya. Sekalipun bank yang dipilih adalah bank-bank papan atas, tetaplah akan sulit dijadikan pegangan mengingat dasar fondasi keuangan negaranya sedang kacau. Kebangkrutan Lehman Brothers dan Merrill Lynch adalah salah satu indikator krisis itu.

Sebuah pelajaran sangat berharga tentang pentingnya penguasaan produk investasi yang hendak di beli dan pengetahuan ekonomi dan keuangan makro suatu Negara bila kita hendak berinvestasi di negeri orang.

Semoga kita tidak mendengar berita BUMN negeri kita juga merugi sedemikian besar karena melakukan investasi dalam produk keuangan yang berisiko tinggi.

Tidak ada komentar: