Selasa, 27 Januari 2009

dilema sebuah keputusan

Ketika sebuah keputusan diambil, pastilah tujuannya untuk kebaikan, prosesnyapun tentunya terlebih dahulu harus dimulai dengan melakukan identifikasi masalah yang dihadapi untuk menentukan alternatif keputusan yang harus diambil.
Apabila salah dalam mengidentifikasi masalah, maka bisa dipastikan keputusan yang diambil pastilah tidak akan menyelesaikan permasalahan yang sebenarnya yang sedang dihadapi. Begitupun keputusan yang diambil dalam perusahaan, pasti ditujukan untuk meningkatkan kinerja yang pada akhirnya akan meningkatkan kesejahteraan stakeholder internal yang tidak lain adalah karyawan perusahaan sendiri. Namun bagaimana kalau keputusan itu ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan "middle management" dengan harapan akan meningkatkan kinerja perusahaan. Apakah ini salah to?
Saya tidak akan menjawabnya langsung tetapi akan mengemukakan sebuah contoh. Sebuah perusahaan memutuskan untuk meningkatkan gaji karyawan menjadi standard gaji yang tertinggi untuk perusahaan sejenis dengan harapan kinerja karyawan akan meningkat melebihi biaya yang timbul akibat keputusan ini. Alih-alih kinerja perusahaan meningkat lebih besar, perusahaan ini malah kesulitan meningkatkan kinerja karena beban SDM yang sangat berat, sehingga terpaksa pada periode kepemimpinan direksi berikutnya dilakukan "penyesuaian" -pinjam istilah yang sering digunakan pemerintah orde baru- gaji karyawan, yaitu "take home pay" berfluktuasi dengan kinerja karyawan yang bersangkutan. Yach....pasti keputusan yang tidak populis ini pada awalnya menuai pro dan kontra serta sempat membuat demotivasi karyawan.
Ada pendapat yang menyatakan bahwa meningkatkan gaji beserta segala tunjangan dan insentif yang melekat didalamnya tidak secara otomatis meningkatkan kinerja. Kalau dipikir lebih dalam memang ada benarnya juga pendapat ini. Mestinya dilihat dulu, dimanakah level kebutuhan karyawan, tentu saja setelah dilakukan indentifikasi masalah dan ketemunya masalah SDM lho.
Bila ketemu bahwa ternyata level kebutuhan karyawan ada dikebutuhan dasar (menurut teori Maslow), maka meningkatkan gaji adalah salah satu solusi yang tepat, namun apabila ketemu level kebutuhan karyawan ada pada tingkat tertinggi yaitu aktualisasi diri, maka meningkatkan gaji bukanlah menjadi solusi yang tepat, karena yang dibutuhkan karyawan adalah unjuk kinerja. Pada level ini, menurut Ki Ageng Suryomentaram, tataran karyawannya sudah bermukim jiwa yang sehat, dimana raga, hati dan pikiran sudah mau menerima raja kejiwaan yang bersemboyan "Tidak enak, kecuali mengenakkan orang lain". Keadaan dimana raja semat, drajat dan kramat yang mengutamakan kekayaan, kedudukan dan kekuasaan telah menjadi tawanan raja kejiwaan. Karyawan yang berjiwa sehat ini akan mengutamakan peningkatan kinerja perusahaan diatas kesejahteraan pribadi, segala tindak dan perilakunya ditujukan untuk kelestarian perusahaan (going concern). Mereka tidak akan bahagia bila menerima peningkatan take home pay sementara perusahaan sedang terengah-engah.
Tapi......bagaimana kalau kenyataan yang dihadapi mayoritas karyawan belum pada tataran tertinggi (aktualisasi diri), masa depan bisnis lumayan "struggle" dan "tuntutan" karyawan untuk meningkatkan kesejahteraan karyawan tinggi? Sungguh...sebuah dilema dihadapi "pengambil keputusan" yang bertanggungjawab terhadap kelangsungan perusahaan....jawaban seorang kolega saat saya ajukan pertanyaan ini adalah.....coba kita bertanya pada rumput yang bergoyang....wach puitis juga ya?
Yach.....mudah kita menjawab dengan mengemukakan segudang teori, tetapi sulit dalam implementasinya, dibutuhkan "kearifan" berorganisasi.
Bagaimana pula reaksi atas keputusan ini, tentunya juga beragam, ya khan?

NB: \
tulisan ini terinspirasi oleh kegundahan seorang "teman" atas sebuah keputusan.
keputusan yang mebuat saya mengelus dada.

2 komentar:

Mud mengatakan...

Menyimak tulisan Bu Purwati ttg dilema sebuah keputusan cukup dapat memberi wawasan. Tulisan tersebut bisa bermakna mendukung, tetapi lebih mengarah prihatin. Sebenarnya inti dari permasalahan adalah perasaan adil. Adil antara karyawan dengan perusahaan atau antar karyawan atau antar stake holder lainnya.

Disebutkan bahwa keputusan (juga kesimpulan) ditentukan oleh hasil identifikasi masalah. Karena identifikasi masalah yang saya perlukan belum lengkap, saya belum bisa menyimpulkan tulisan Bu Purwati. Tetapi saya bisa menggarisbawahi dan melengkapi.

Pemenuhan kepentingan perusahaan dan SDM harus berimbang. Tetapi keseimbangan ini haruslah di atas standar tertentu, misal: kebutuhan dasar karyawan harus dipenuhi, perusahaan harus laba atau paling tidak BEP.

Bagaimana bila keseimbangan itu tidak bisa dicapai tanpa mengorbankan salah satu pihak? Ini berarti terjadi ketidakadilan! Pilihan keputusan penutupan sebagian usaha (PHK masal) atau penurunan gaji karyawan sama-sama tidak menyenangkan karena berujung pada timbulnya masalah demo atau penuntutan oleh karyawan. Kondisi raga, hati dan pikiran bisa menerima raja kejiwaan yang bersemboyan "Tidak enak, kecuali mengenakkan orang lain" bila kondisi adil terpenuhi.

Peningkatan gaji karyawan bisa dilihat dari 2 sisi, yaitu kenaikan skala gaji dan kenaikan gaji per individu. Kenaikan gaji per individu bisa "dinetralkan" dengan format golongan penggajian dan formasi (jumlah) tenaga kerja. Sedangkan kenaikan skala gaji biasanya disesuaikan dengan UMR (UMR ini pun sebenarnya masih pro kontra).

Demikian sedikit masukan dari kami. Bila ada yang kurang berkenan mohon maaf.

Salam,
Mudjiono

purwati mengatakan...

ma kasih mas mudjiono atas komentarnya. betul pendapat panjenengan asas keadilan itu penting, tapi adil yang bukan sama rata dan sama rasa to nggih?