Rabu, 25 Maret 2009

REPO ooohhhh REPO

Teringat pelajaran SD, dulu nenek moyang kita bertransaksi dengan barter barang yang dimiliki. Kini semakin canggih suatu bangsa dan peradaban, maka semakin canggih juga cara bertransaksi. Satu diantaranya yang beberapa waktu ini sering terdengar adalah istilah REPO.
Apa sich REPO ini? Orang bertanya-tanya dan berpikir ketika mendengarnya.
REPO merupakan cara bertransaksi yang relatif baru. REPO merupakan kependekan dari repurchase agrrement. REPO merupakan salah satu cara meminjam uang dengan menggunakan jaminan yang bisa diperpanjang jangka waktunya atau sistem roll over seperti halnya memperpanjang deposito.

Jaminan atau barang yang digadaikan merupakan instrumen investasi di pasar modal seperti saham, obligasi, deposito, commercial paper, atau promissory notes. Pihak yang membutuhkan dana disebut penjual repo dan pihak yang membeli disebut investor. Apabila pada jangka waktu yang ditentukan penjual repo tidak bisa membeli kembali reponya, maka instrumen investasi yang dijaminkan bisa menjadi milik investor.

Risiko yang dihadapi investor apabila penjual repo tidak bisa membelli kembali dan risiko likuiditas darei instrumen investasi yang dijaminkan. Sedangkan risiko bagi penjual adalah kemampuannya membeli kembali repo yang telah diterbitkan.

Pada kondisi normal, transaksi ini sangat menguntungkan bagi investor, karena bila nilai jaminan turun (harga saham atau obligasi turun) maka penjual repo akan menambahkan jaminannya yang nilainya selalu lebih besar dari uang yang dipinjam (istilah yang umum adalah top up).

Malang tak dapat ditolak mujur tak dapat diraih.... Apabila USA punya subprime mortgage, Indonesia punya repo, keduanya mempunyai kekuatan yang melumpuhkan, bahkan bisa membunuh nyawa perusahaan yang terjerat, tulis majalah investor maret 2009.

Entah pasar Indonesia yang sulit diprediksi, ataupun pebisnis Indonesia yang "risk apetite"nya suangat tinggi atau investornya banyak yang suka mengambil keputusan secara gegabah, entah saya tidak bisa menjawabnya. Pada saat subprime mortgage membawa korban sejak Agustus 2007, keuangan USA mulai lesu dan menyeret kelesuan di pasar uang dan pasar saham dunia.

Anehnya, Di Indonesia transaksi repo justru mulai marak pada Maret-April 2008, hampir bersamaan dengan reponya saham-saham Bakri group yang mencapai nilai US$ 1,4 milyar dan repo lokal senilai Rp 6 triliun. Repo asing melibatkan investor dari Odickson finance, JP Morgan, dan ICICI Bank Ltd, sedangkan repo lokal melibatkan investor Sarijaya Securities, Recapital Securities, PNM Investment Management, Mandiri Securities, dan Mandiri Securities. Sedangkan transaksi repo Sinarmas dengan jaminan para investor menyerahkan sebanyak 20 jenis saham kepada Sinarmas mencapai nilai Rp 4,7 triliun.

Sinarmas terjerat masalah karena ternyata 20 saham yang dijaminkan oleh para investor sulit dieksekusi, hal ini bisa dipahami karena nilainya menurun dari Rp 4,7 triliun menjadi Rp 2,5 triliun, siapa berani mengeksekusi kalau kondisinya seperti ini.
Bakri menghadapi masalah karena saham yang menjadi jaminan adalah saham PT Bumi Resources Tbk dengan nilai mencapai US$ 1,09 milliar (Rp 10 triliun). Saham Bumi sempat mengalahkan sahan Telkom dari sisi kapitalisasi pasar, anjlok dari posisi tertinggi Rp 8.550 hingga dibawah seribu perak.

Dirut Bursa Efek Indonesia seperti dilansir majalah investor edisi maret 2009, Erry Firmansyah membenarkan bahwa banyak anggota bursa (AB) banyak mengalami masalah likuiditas akibat transaksi repo dan re-repo. Ia pun mengakui bahwa sebagian besar likuiditas tersedot pada saham-saham grup Bakri.

REPO ooooohhhhhh REPO

1 komentar:

BPurwanto88 mengatakan...

Hakikat dari suatu investasi ada 2 fondasi yang harus diketahui, yaitu (1) Fair Value of instruments (2) Liquidity. Kedua inilah yang menjadi pangkal masalah per"REPO" an yang terjadi di Pasar Modal Indonesia karena banyak investor yang tidak memperhatikan ke 2 faktor tersebut saat melakukan transaksi REPO. Saya tidak tahu persis masalah subprime yang menjadi bencana keuangan di Amerika. Yang saya maksud dengan Fair Value adalah Harga yang disepakati saat melakukan perjanjian REPO menggunakan market price saat perjanjian REPO tsb dilakukan. Masalahnya, apakah market price tersebut merupakan Fair Value (nilai wajar) atas instrumen yang djadikan underlying transaksi REPO tersebut ? Apalagi REPO sangat marak (walau sebenarnya sejak 2006) tahun 2008 dimana banyak saham di BEI yang overvalued. Sedangkan masalah likuiditas sangat berkaitan likuiditas saham underlying di BEI karena ditengarai transaksi saham di BEI yang dijadikan underlying REPO merupakan transaksi semu. Maka saat investor akan melakukan aksi "Jual" karena REPO mengalami default, investor tidak akan menemukan tingkat likuiditas yang dapat mengamankan investasi REPO tersebut.