Rabu, 01 April 2009

Gula kembali ke BULOG? selesaikah masalahnya?


Saat BUMN produsen gula menerapkan strategi "production oriented". maka konsentrasilah mereka untuk bisa memproduksi gula sebanyak-banyaknya untuk memenuhi kebutuhan pasar.

Waktu berlalu, mereka merasa perlu menggeser strategi menjadi "customer oriented" bahkan sekarang sudah merambah ke "customer satisfaction". Hal ini sedikit terkendala karena pemasaran "dikendalikan" BULOG, yang berarti BULOGlah yang bersentuhan dengan, maka pemilik BUMN melakukan restrukturisasi organisasi dengan menambah posisi "Direktur Pemasaran".

Sayang posisi baru yang menuntut kompetensi spesifik ini tidak diikuti dengan penempatan SDM dengan kompetensi yang sesuai, maka tidak berselang lama timbullah "komplain" masyarakat sedikit mengalami kesulitan menemukan gula dipasar, kalaupun ada harganya mahal.

Entah ada hubungannya entah tidak, akhirnya Pemilik BUMNpun merestrukturisasi kembali BUMN perkebunan, ada yang Direktur pemasaran merangkap sebagai direktur perencanaan pengembangan, ada pula yang berstatus sebagai direktur pemasaran.

Namun sepertinya perubahan ini tidak menunjukkan hasil seperti yang diharapkan, sehingga mulai 2 nopember 2008 Perum Bulog kembali berfungsi sebagai distributor tunggal pemasaran yang diproduksi pabrik gula mereka.

Meneg BUMN Sofyan Jalil mengatakan "Penunjukan Bulog sebagai alternatif penyaluran gula agar tercipta sistem perdagangan gula yang sehat, petani menikmati harga yang wajar dan konsumen mendapat harga yang lebih rendah".

Sementara itu, dalam kesempatan berbeda, Ketua Umum Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia seperti dikutip majalah investor Desember 2008 menyatakan "sudah seharusnya Bulog berperan aktif dalam menstabilkan harga gula dalam negeri. Bulogpun idelanya ikut menyerap hasil dari petani. Sejauh ini, telah terjadi kekacauan supply-demand gula dalam negeri. Mesin distribusi di tingkat 2 (D2) dan pengecer (D4) saat ini te;ah dipenuhi gula rafinasi impor. Akibatnya distributor tngkat 1 (D1) yang biasa membeli gula dari petani dan PTPN, gulanya tidak laku.

Nach kita tunggu bersama, kiprah BUlog sebagai organ pemerintah untuk mengendalikan lajunya gula impor rafinasi, yang meski sudah berulang kali ketangkap basah tetapi tetap saja gula rafinasi mudah didapatkan dipasar. Hal ini bisa dilihat dari jumlah kebutuhan gula rafinasi untuk industri makanan dan minuman (mamin) 700.000 ton, sementara pabrik gula rafinasi mengantongi ijin impor sejumlah 1.700 ton, dilain sisi industri mamin dengan alasan membutuhkan spec khusus juga mengantongi ijin impor 70% kapasitas produksinya. Kemana gula akan dijual kalau tidak ke pasar konsumen langsung.

Akankah Bulog berhasil mengatur harga gula lebih rendah ditingkat konsumen seperti harapan Meneg BUMN, apabila kekuatan legal Bulog untuk berhadapan dengan para penguasa gula rafinasi impor yang seolah tak tersentuh tangan hukum. Saya sebagai konsumen hanya bisa berharap rumusan harga 1 kg gula sama dengan 1,5 kg beras bisa tercapai sehingga harga jual gula tetap menarik sehingga para petani tebu tetap bergairah menanam tebu.

Mari berharap bersama sinergi produsen gula importir gula dan distributor gula bisa berjalan "harmonis" sehingga cita-cita untuk swasembada gula segera tercapai dan bahkan negeri kita tercinta ini bisa mengekspor gula.

1 komentar:

Sepul Alam mengatakan...

new be nie mohon bimbingan dan keritik beserta saran-sarannya

http://saepulalam.blogspot.com/

http://scenesreview.blogspot.com/